Kanker Meningkat, BPJS Kesehatan Diminta Tingkatkan Kualitas Pelayanan

Kamis, 25 Juli 2019 - 12:00 WIB
Kanker Meningkat, BPJS Kesehatan Diminta Tingkatkan Kualitas Pelayanan
Kanker Meningkat, BPJS Kesehatan Diminta Tingkatkan Kualitas Pelayanan
A A A
JAKARTA - Program JKN telah membuka akses terhadap diagnosis dan terapi kanker. Namun, akses terhadap penatalaksanaan kanker yang sesuai standar medis perlu perbaikan.

Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) telah membuka akses terhadap diagnosis dan terapi kanker. Namun, akses terhadap penatalaksanaan kanker yang sesuai standar medis perlu perbaikan mendesak agar pasien kanker bisa mendapatkan haknya atas pelayanan kesehatan berkualitas, dan dokter juga bisa memberikan penatalaksanaan sesuai dengan standar medis.

Data dari Globocan 2018 menyatakan, ada 348.809 orang penderita kanker baru dalam satu tahun di seluruh Indonesia (kanker payudara sekitar 58.000 kasus, kanker leher rahim 32.000, kanker paru 30.000, kanker usus besar 30.000), dengan 207.000 kematian akibat kanker. Apabila penyakit kanker tidak ditangani secara menyeluruh dengan tepat, mulai dari program pencegahan primer dan deteksi dini sampai terapi yang berbasis bukti (evidence-based), maka di kemudian hari, ini akan membebani negara secara ekonomi dan sosial.

“Pandangan puluhan tahun yang lalu bahwa kanker merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan adalah salah. Di Amerika dan Eropa, dalam 40 tahun terakhir, angka kesembuhan pada banyak jenis kanker meningkat tajam. Di Inggris, kanker payudara saat ini memiliki tingkat kesintasan 10 tahun sekitar 80% sejak diagnosis ditegakkan. Untuk kanker prostat, yang merupakan kanker utama pada pria, sekitar 84% penderitanya masih hidup sesudah 10 tahun dinyatakan sakit (dibanding hanya 25% pada tahun 1970—1971). Ada kelompok pasien leukemia kronik yang sejak diagnosis ditegakkan, masih lebih dari 90% bertahan hidup dalam 10 tahun," kata Dr. Ronald A. Hukom, MHSc, SpPD KHOM, FINASIM, ahli penyakit dalam dan onkologi medik yang juga Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam (PERHOMPEDIN) DKI Jakarta.

"Berbagai angka yang hampir sama sudah terlihat di beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan. Untuk kanker stadium lanjut, hasil pengobatan juga semakin baik. Misalnya, kanker payudara stadium 4 (metastatic breast cancer) yang 30 tahun lalu tidak sampai 20% pasien masih bertahan hidup sesudah 5 tahun, saat ini pada kelompok tertentu (HER2 positif) bisa memiliki harapan hidup 50% lebih dari 5 tahun," lanjutnya.

Dengan perkembangan tersebut, sangat penting bagi Pemerintah untuk bersama-sama seluruh pemangku kepentingan mengupayakan agar penatalaksanaan kanker yang sesuai dengan perkembangan standar medis bisa diakses pasien yang memerlukan, terutama melalui program JKN.

“Banyak warganegara kita yang masih berobat ke China, Malaysia, dan Singapura karena menganggap mutu pengobatan kanker di Indonesia belum memuaskan. Ratusan triliun rupiah dihabiskan, padahal angka ini sebetulnya bisa ditekan bila Kementerian Kesehatan bersama BPJS, bisa terus melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, termasuk untuk kanker,” kata Ronald.

Sebuah studi menyebutkan, setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian USD48 miliar karena pasien yang berobat keluar negeri. “Mungkin hanya diperlukan dana 3—5% dari yang dibawa pasien ke luar negeri dalam 5—10 tahun terakhir, untuk membangun beberapa pusat kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tidak perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta,” ujar Ronald.

Menurut Ronald, perlu segera dibuat sistem audit pemakaian obat kanker (bukan Audit Medik) untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi penderita kanker. Dalam 5 tahun pelaksanaan program JKN (2014—2019), belum pernah ada audit secara khusus pada pemakaian obat kanker, yang meneliti apakah rumah sakit dan BPJS Kesehatan di semua daerah atau propinsi sudah mengikuti restriksi yang ditentukan dalam Formularium Nasional. Secara khusus, Ronald menyoroti kasus pencabutan dua obat terapi target untuk kanker kolorektal dari Formularium Nasional (Fornas), sehingga pasien tidak bisa lagi mendapatkan obat yang diperlukan tersebut.

“Audit pemakaian obat kanker secara berkala akan membantu menyelamatkan miliaran rupiah dana JKN, dan penderita kanker yang memang membutuhkan obat ‘mahal’ tertentu untuk hasil terapi yang lebih baik, tidak dirugikan karena obat yang diperlukan tidak dijamin oleh BPJS,” paparnya.

Sementara, Ketua Umum Cancer Information & Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri mengungkapkan bahwa kanker adalah penyakit katastropik dengan biaya pengobatan yang tidak murah dan pada umumnya rakyat tidak akan mampu jika membayar sendiri. Oleh sebab itu, menurut Aryanthi, peran negara harus hadir, agar pasien kanker bisa tetap mendapatkan pengobatan yang berkualitas, sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundangan.

“Penatalaksanaan kanker yang terus berkembang telah memberi harapan perbaikan hasil pengobatan, oleh karena itu harus disertai upaya terencana oleh Pemerintah agar bisa diakses oleh pasien. Kami selaku komunitas memperjuangkan aspirasi-aspirasi pasien kanker berharap agar Pemerintah mencari solusi terbaik terkait pembiayaan pengobatan kanker yang berkualitas dengan melibatkan semua pihak agar pelayanan untuk pasien kanker bisa terus ditingkatkan, dan bukan malah dikurangi. Pemerintah dengan dibantu legislatif, akademisi, industri, organisasi pasien dan yang lainnya seharusnya mengupayakan pembiayaan kanker yang menyeluruh, bukan melihat dari satu sisi pandang saja (defisit keuangan,” kata dia.
(alv)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4914 seconds (0.1#10.140)